Modernis.co, Depok – Sampai saat ini nuansa bercak pandemi masih terasa dan tanpa disadari layanan pinjaman online ilegal pun tetap bermunculan, bahkan cenderung naik pertumbuhannya. Pinjaman online atau yang sering kita sebut dengan pinjol secara ilegal memanfaatkan kesulitan ekonomi masyarakat yang terdampak pasca wabah virus corona.
Pada periode Januari hingga Maret 2020, Satgas Waspada Investasi masih menemukan 508 fintech peer to peer lending atau pinjaman online (pinjol) ilegal yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika dihitung sejak tahun 2018, maka hingga tahun 2020, sudah ditemukan total 2406 pinjol ilegal, data ini belum diperbarui setelah menginjak tahun baru 2022 ini.
Negara, melalui OJK sebenarnya telah memiliki instrumen hukum untuk mengatur pinjol, bahkan sudah dibentuk Satgas Waspada Instansi yang beranggotakan OJK dan instansi lainnya. Hal ini diungkapkan pada pertemuan pernyataan komitmen bersama pada tanggal 20 Agustus 2021 untuk memberantas pinjol ilegal, OJK bersama Bank Indonesia, Polri, Kominfo, dan Kemenkop UKM.
Pernyataan komitmen bersama ini ditujukan untuk meningkatkan tindakan nyata dari masing-masing kementerian dan lembaga dalam memberantas pinjaman online ilegal sesuai kewenangannya untuk melindungi masyarakat. Komitmen bersama ini lingkupnya meliputi pencegahan, penanganan pengaduan masyarakat dan penegakan hukum.
Perlindungan hukum terhadap konsumen pada layanan pinjaman uang berbasis financial tehnology atau Fintech P2PL saat ini menjadi sorotan seiring dengan banyaknya aduan di masyarakat, yang semula dengan harapan dapan membantu perekonomian dengan percepatan inklusi keuangan berbasis teknologi malah dimanfaatkan dengan membuat fintech ilegal.
Dalam hal upaya perlindungan konsumen terhadap penyelengaraan Fintech P2PL di Indonesia saat ini terdapat peraturan yang mengatur terhadap penyelenggaraan kegiatan ini, pelaku usaha atau penyelenggara wajib memperhatikan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan pada Peraturan OJK Nomor 77/POJK.07/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi.
Peraturan OJK diatas meliputi kelembagaan, pendaftaran, perizinan, batasan pemberian pinjaman dana, tata kelola teknologi informasi penyelenggara, batasan kegiatan, manajemen resiko, laporan serta edukasi perlindungan konsumen.
Dalam menghadapi pengaduan konsumen pinjaman online OJK sebagai regulator melakukan investigasi dalam mengungkap permasalahan yang terjadi, dan dari investigasi tersebut ditemukan banyaknya konsumen yang menjadi korban merupakan pengguna aplikasi ilegal yang mengakibatkan adanya penyalah gunaan data konsumen peminjam tersebut.
Dapat dikatakan bahwa identitas dalam melakukan perjanjian pinjaman Fintech P2PL termasuk dalam kategori data pribadi, yang dimiliki oleh data atau debitur pada penyelenggaraan perjanjian pinjaman Fintech P2PL.
Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Menteri Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik, menyebutkan perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik mencakup perlindungan mulai dari perolehan data sampai dengan pemusnahan data konsumen.
Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai kerahasiaan data oleh penyelenggara Fintech P2PL dikenakan sanksi administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 47 POJK Nomor 77 Tahun 2016 dari mulai peringatan tertulis, denda, pembatasan kegiatan usaha, dan pecabutan ijin.
Dari sisi konsumen, berdasarkan Pasal 26 Ayat (2) Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, setiap orang yang dilanggar haknya berdasarkan ketentuan dalam ayat (1) dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang timbul.
Pembuktian adanya pelanggaran penyalahgunaan data pribadi oleh pihak ketiga dan memenuhi unsur pidana penyalahgunaan informasi data pribadi dan menyebakan kerugian, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meminta agar Otoritas jasa Keuangan segera ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menimpa nasabah pinjaman online. Berdasarkan data sementara yang mereka terima dari aduan masyarakat , pinjaman online telah memakan korban sekitar 1.330 korban.
Peraturan untuk mendungi masayarakat telah dikeluarkan dan dijalankan namun, LBH Jakarta mencatat sebanyak 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami oleh korban apllikasi pinjaman online. Mulai dari bungsa sangat tinggi hingga penagihan dilakukan dengan fitnah serta penipuan sehingga masuk kedalam ranah hukum pidana.
Di sisi lain Fintech yang bergerak di bidang pinjaman online ini juga memiliki dampak yang positif, ketika memang dijalankan sesuai pendirian dan persyaratan sebagaimana yang telah diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Berdasarkan hasil analisis data secara statistik menjelaskan bahwa Peer to peer (P2P) lending berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Uji regresi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sebesar 68,18 persen variabel P2P Lending dapat menjelaskan variabel pertumbuhan ekonomi dan sisanya 31,82 persen dijelaskan oleh variabel diluar model.
Hasil analisa data statistik jelas memberikan sinyal positif bahwa meningkatnya P2P lending di Indonesia akan memberikan dampak positif kepada meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan program pemerintah bahwa masuknya financial technology di Indonesia akan memberikan dampak baik bagi perekonomian ketika semua sudah sesuai dengan ketentuan peraturan-perundangan.
Oleh: Osama Hanum Sabiliah, Mahasiswa Akuntansi Syariah STEI SEBI DEPOK